Rabu, 04 Maret 2009

Sejarah BANTEN di Bali dan ASPEK UPACARA HINDU NUSANTARA DI MASA DEPAN

Membaca sejarah/babad/prasasti-prasasti/pelelutuk yang ada di Bali (antara lain: Markandeya Tattwa, Tutur Kuturan, Sanghyang Aji Swamandala, Gong Besi, Dwijendra Tattwa), maka: Upakara yang juga dinamakan: banten, bali, hanya bagi umat Hindu yang di Bali, atau bagi umat Hindu Bali yang merantau keluar Bali.

Sebabnya :

Maha Rsi Markandeya yang datang ke Bali pada abad ke-8 mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu:
1. Melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.

2. Pada awal kedatangan Maha Rsi Markandeya, beliau tidak tahu bahwa tata-cara di Bali harus menggunakan banten/upakara. Maka pengikutnya yang berjumlah 400 orang terkena bencana dan meninggal dunia.
Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung, bersamadhi, di situlah beliau mendapat 'petunjuk' dari Yang Maha Kuasa, bahwa Bali jangan disamakan dengan pulau lain. Maka beliau kembali ke Bali, melakukan ritual sesuai dengan 'petunjuk' menggunakan banten dan 'mendem panca datu' di Besakih. Selamatlah beliau beserta pengikutnya, dan berkembanglah banten di Bali.

Umat Hindu dari etnis lain di luar Bali, silahkan menggunakan tradisi mereka masing-masing, jangan dipaksakan menggunakan banten, karena sejak dahulu kala, Hindu di Jawa/Majapahit menggunakan sesajen yang berbeda dengan banten di Bali.
ASPEK UPACARA HINDU
Upacara dalam Bahasa Sanskrit berasal dari kata Upa yang artinya "dekat" dan Cara yang artinya "kegiatan". Jadi Upacara arti sempitnya adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka berbakti atau mendekatkan diri kepada Tuhan. Arti sempit ini kemudian berkembang sehingga dalam bahasa sehari-hari, upacara tidak saja berarti kegiatan dalam lingkup keagamaan, tetapi juga kegiatan seremonial di bidang lain.

Tiga aspek yang menjadi kerangka Agama Hindu adalah : Tattwa, Susila, dan Upacara.
Tattwa membentuk pola pikir manusia tentang pemahaman filsafat Veda
Susila menggerakkan dan mengendalikan perilaku berdasar Tattwa
Upacara ritual yang menguatkan keyakinan Tattwa

Ketiga aspek itu menyatu dan saling berkaitan sehingga bila salah satu aspek lemah atau tidak ada maka kehidupan beragama tidak berjalan sempurna. Penonjolan salah satu aspek dari tiga kerangka Agama Hindu mencerminkan dua hal pokok yaitu kemampuan inteligensi dan "marga" yang digunakan dalam mencapai kesehatan spiritual.
Catur Marga adalah empat "jalan" menuju Tuhan yaitu Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Aspek Upacara bisa sangat menonjol pada Bhakti Marga sedangkan pada Marga-marga lainnya masalah ritual tidak terlalu diperhatikan. Walaupun demikian, dengan berbagai Marga manusia Hindu dapat mencapai Tuhan karena Veda telah menyediakan alternatif yang paling sesuai di mana pada hakekatnya ke-empat Marga dapat digunakan secara serentak dengan perimbangan bobot menurut kemampuan masing-masing.

Inilah salah satu ciri kebesaran Agama Hindu sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV.11 : "Ye yatha mam prapadyante, tams tathai va bhajamy aham, mama vartma nuvartante, manusyah partha savasah" : Dengan jalan bagaimanapun orang-orang mendekati, dengan jalan yang sama itu juga Aku memenuhi keinginan mereka. Melalui banyak jalan manusia mengikuti-Ku, O Partha.

Aspek Upacara sangat berkaitan dengan Panca Yadnya, yaitu Deva Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusia Yadnya. Dalam Manava Dharmasastra III.73 disebut sebagai : Ahuta, Huta, Prahuta, Brahmahuta, dan Prasita. Yadnya adalah bhakti dalam bentuk pengorbanan suci yang tulus ikhlas.

Yadnya diadakan karena hidup manusia berawal dari adanya Rna atau "hutang" kepada tiga pihak yaitu :
1. Deva Rna, hutang kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan pada Atman untuk bereinkarnasi dalam kehidupan.
2. Pitra Rna, hutang kepada orang tua yang telah melahirkan dan memelihara.
3. Rsi Rna, hutang kepada para Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan Veda.

Upacara Panca Yadnya menggunakan Upakara, dari Bahasa Sanskrit di mana Upa artinya "dekat" dan Kara artinya "tangan" yaitu sesuatu yang dikerjakan dengan tangan dalam mewujudkan Bhakti. Bentuk upakara adalah sesajen dan sarana pendukungnya.

Unsur-unsur Upakara adalah : bunga, air, api, biji-bijian/buah-buahan dan harum-haruman. Kelima unsur ini disebut Panca Upakara, sebagai pengembangan dari sloka Bhagawadgita IX.26 : Pattram puspam phalam toyam, yo me bhaktya prayacchati, tad aham bhaktyupahrtam, asnami prayatatmanah. : Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku daun, bunga, buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima. Penggunaan api disebutkan dalam Manava Dharmasastra III.76 : Agnau prastahutih samyag adityam upatistate, adityajjayate vrstir vristerannam tatah prajah : Persembahan yang dijatuhkan ke dalam api akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan timbullah makanan, dari mana mahluk mendapatkan hidupnya.

Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi. Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya.
Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Deva-Deva di arah mata angin, yaitu : Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Visnu di utara berwarna hitam. Selanjutnya Deva dan warna-warna sela : Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran.

Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai :
1. Kekuatan Tuhan,
2. Wujud bhakti,
3. Prasadam/ Lungsuran/ Surudan,
4. Sarana pensucian roh,
5. Mantra.

Sebagai kekuatan atau Sakti Tuhan misalnya niyasa yang disebut sebagai Daksina, banyak digunakan di India dan Nusantara; sebagai wujud bhakti, antara lain berbagai jenis sesajen persembahan; sebagai Prasadam adalah makanan-minuman yang telah diberkati; Sarana pensucian roh banyak digunakan pada upacara Sraddha baik berupa bunga, air dan api; kemudian Mantra-Mantra dapat pula diwujudkan dalam bentuk ornamen dan sesajen tertentu, atau kain dengan warna tertentu bertuliskan aksara-aksara suci misalnya OM, Ang, Ung, Mang, dll. Selain itu Niyasa dalam bentuk bangunan misalnya Pura/Mandir, dan patung/arca.

Pedoman dasar upacara Agama Hindu disebut dalam Veda sebagai Brahmana (Karma Kanda), dan Aranyaka/ Upanisad (Jnana Kanda). Kitab-kitab yang tergolong Karma Kanda dari Rg Veda adalah Aiteraya dan Kausitaki, dari Sama Veda adalah Pancavimsa dan Sadvimsa, dari Yayur Veda adalah Satapatha dan Taittiriya, dari Atharva Veda adalah Gopatha. Kitab-kitab yang tergolong Jnana Kanda dari masing-masing Samhita jumlahnya puluhan buah.

Upacara-upacara yang berkaitan dengan Rg Veda Samhita meliputi arti kedudukan yang penting dari Div, dan prosedur pemujaan yakni urutan pengucapan mantra. Yang berkaitan dengan Yayur Veda Samhita, baik Sukla Yayur Veda maupun Krsna Yayur Veda adalah upacara korban dan penjelasan mistisnya. Yang berkaitan dengan Sama Veda Samhita adalah cara atau irama suara di kala mengucapkan mantra, dan yang berkaitan dengan Atharva Veda Samhita menyangkut cara memanfaatkan pengetahuan untuk kehidupan dan kesehatan.

Upakara yang di Bali disebut Banten. Banten mula-mula dikenalkan oleh Maharsi Markandeya sekitar abad ke-8 kepada penduduk di sekitar pertapaan beliau di Desa Puakan, Taro (sekarang Kecamatan Tegallalang, Gianyar). Jenis simbol/niyasa ini adalah pengganti Mantra, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Yajnya Prakerti dan Mpu Lutuk. Jadi banten dikembangkan kepada umat Hindu yang tidak menguasai mantra-mantra dalam kegiatan bhaktinya. Banten itu dahulu dinamakan Bali, sehingga orang-orang yang melakukan upacara persembahyangan menggunakan Banten disebut orang Bali. Lama kelamaan ajaran Maharsi Markandeya ini berkembang ke seluruh pulau maka jadilah nama pulau kecil ini : PULAU BALI

Di sadur dari wacana Bhagawan Dwija

Minggu, 01 Maret 2009

HINDU DI BALI

Om Swastyastu,

Saya ingin membagi tema yang saya dapatkan dari salah satu site yang isinya sangat luar biasa untuk kita ketahui. Hindu kita di Bali sangat jauh berbeda degna Hindu yang ada di tempat lain walaupun ada yang sama yaitu Kitab Suci dan kitab - kitab lainnya seperti Bhagavad Gitanya.

Bila Agama Hindu Tengger lebih bercirikan agama rakyat yang menyatu dengan agama Jawa, agama Hindu Bali dibawa oleh para Brahman dan keluarga Raja sehingga lebih kaya dalam upacara-upacara istananya. Namun, agama Hindu Bali juga memiliki banyak variasi di Bali sejalan dengan sinkretisasi dengan kepercayaan tradisi lokal yang berbeda-beda. Agama di sini semula disebut sebagai agama Hindu Bali, namun berbeda dengan agama Hindu yang berasal dari tradisi Veda India, sekte utama di sini menyembah Syiwa dan juga Buddha. Agama ini juga disebut agama Tirta (air) karena umumnya ada upacara-upacara menggunakan air suci. Sekarang nama resmi agama ini adalah agama Hindu Dharma.

Agama Hindu Dharma adalah agama upacara, umat pada umumnya tidak berbicara mengenai teologi namun setia menjalankan upacara agama sesuai petunjuk para imam. Kepercayaan akan kehidupan reinkarnasi itu disertai upacara nga ben (pembakaran mayat keluarga kaya). Mereka yang terpelajar mencari pengertian mengenai dewa-dewi lokal dan ikatannya dengan sesama dewa. Sebagai contoh dewa Batara di danau batur adalah saudara dewa Batara di gunung Agung, padahal keduanya berasal dari dewa-dewi Jawa kuno. Untuk menjaga Bali, Dewa Jawa (Sang Hyang Pasupati) mengirimkan 7 anak-anaknya ke Bali yang kemudian menjadi dewa-dewi lokal.


Agama Upacara

Penyebaran agama disamping melalui para imam (ajaran Veda) juga dengan kuat ditanamkan melalui upacara dan tari-tarian, khususnya yang bertemakan Mahabarata dan Ramayana, juga babad (sejarah tradisi) dan tutu/satua (sejarah yang diucapkan turun-temurun). Dewa utama di Bali adalah Trimurti Veda, yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara) dan Syiwa (perusak). Tiap keluarga Bali memiliki kuil (sangga) beruang tiga untuk menyembah Trimurti dan roh-roh nenek-moyang. Di tingkat desa, desa adat memiliki tiga kuil (pura - tiga kayangan), yaitu pura Desa, Puseh, dan Dalem yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu dan Syiwa bersama-sama. Disamping itu ada pura yang bersifat regional yang disebut 'tempat suci dunia' (kahyangan jagad), seperti pura Besakih, Batur, Lempuyang Luhur, Gua Lawah, Uluwatu, Batukara, Pusering Jagad, Pulaki, Tanah Lot, dan Sakenan. Dari seluruh pura ini, pura Besakih di lereng gunung Agung adalah yang terbesar.

Kuil-kuil diisi Meru (pagoda) yang biasanya beratap ganjil jumlahnya dan maksimum sebanyak 11 buah dan biasanya digunakan untuk menghormati dewa-dewi atau nenek-moyang tertentu.

Agama Hindu Bali adalah agama upacara dimana agama dituturkan dari generasi-ke-generasi yang diperkuat dengan persembahan kepada dewa-dewi setiap hari, dan khususnya pada hari-hari tertentu ada persembahan untuk mengingat hari raya tertentu, dan juga untuk pergi ke kuil secara berkala. Setiap perayaan penting selalu didahului upacara agama untuk mengusir roh-roh jahat. Demikian juga, bencana alam (termasuk pengeboman di legian-Kuta) harus disucikan dengan upacara doa.

Hindu Bali menyembah dewa tertinggi yang disebut Sang Hyang Widi sebagai manifestasi dewa matahari Syiwa Raditya.


Karena ini lah Bali satu - satunya Hindu yang memiliki TAKSU dan tidak ada duanya di dunia.

Ajegkan Hindu Dharma dan jangan sampai HYANG WIDHI di ganti nama dan LELUHUR terlupakan


Om Shanti Shanti Shanti Om